IHSG Melonjak, Rupiah Tertekan: Pasar Keuangan Indonesia Dalam Tarik Ulur Global
Ilustrasi Mata Uang Rupiah dan Dollar
Pasar keuangan Indonesia pada Selasa (12/11/2024) menunjukkan dinamika menarik. Di satu sisi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali menguat ke level psikologis 7.300, sementara di sisi lain, rupiah dan pasar obligasi mengalami tekanan. Pergerakan ini mencerminkan tarik ulur antara sentimen domestik dan global, terutama jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).
IHSG Bangkit dari Keterpurukan
Setelah beberapa hari tertekan, IHSG ditutup menguat 0,76% di level 7.321,99. Ini menjadi angin segar bagi investor yang sempat khawatir saat indeks turun mendekati 7.100. Kenaikan IHSG didukung oleh transaksi senilai Rp13 triliun, dengan 300 saham menguat, 276 melemah, dan 215 stagnan.
Dua sektor utama, energi dan teknologi, menjadi pendorong utama penguatan ini dengan kenaikan masing-masing sebesar 2,83% dan 2,6%. Saham PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) melesat, memberikan kontribusi 8,4 poin pada indeks, diikuti oleh PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) yang menyumbang 6,9 poin.
Tak ketinggalan, saham-saham perbankan besar seperti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) turut mendukung penguatan IHSG, masing-masing dengan kontribusi 6,6 dan 5,9 poin.
Asing Masih Lepas Saham, Tapi Big Caps Kembali Diburu
Meski IHSG menguat, investor asing masih mencatatkan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp1,53 triliun. Saham-saham perbankan besar menjadi sasaran utama pelepasan ini. Namun, harga saham yang sudah cukup rendah menarik minat pelaku pasar domestik untuk kembali membeli, terutama saham-saham berkapitalisasi besar.
Analis pasar menilai bahwa kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS 2024 memicu kekhawatiran terkait kebijakan proteksionis yang dapat memengaruhi pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, pemulihan ekonomi di China juga mulai menarik perhatian investor global, yang turut mendorong arus modal keluar dari pasar Indonesia.
Rupiah Terperosok, BI Terus Siaga
Di pasar valuta asing, rupiah tak mampu mempertahankan posisinya terhadap dolar AS. Mata uang Garuda ditutup melemah 0,64% di level Rp15.775 per dolar AS. Sepanjang hari, rupiah bergerak dalam kisaran Rp15.720 hingga Rp15.797 per dolar AS.
Penguatan indeks dolar AS (DXY) ke level 105,735 menjadi salah satu faktor yang menekan rupiah. Direktur Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Fitra Jusdiman, mengungkapkan bahwa keluarnya dana asing dari pasar domestik menambah tekanan.
"Dana asing yang kembali ke AS menjadi penyebab utama pelemahan ini. Ketidakpastian global, terutama terkait kebijakan Trump, membuat pasar berhati-hati," ujarnya.
Obligasi Tertekan, Imbal Hasil SBN Naik
Pasar obligasi juga mengalami tekanan, dengan imbal hasil SBN tenor 10 tahun naik ke level 6,87% dari 6,75% pada hari sebelumnya. Kenaikan ini mencerminkan pelepasan obligasi oleh investor, yang lebih memilih menahan aset dalam dolar AS di tengah ekspektasi kenaikan inflasi AS.
Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri, mengatakan bahwa sentimen inflasi AS menjadi perhatian utama investor. Jika inflasi terus meningkat, Federal Reserve kemungkinan akan mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi lebih lama. "Ini menambah tantangan bagi pasar keuangan global, termasuk Indonesia," jelasnya.
Ke Mana Arah Pasar?
Volatilitas di pasar keuangan Indonesia diperkirakan berlanjut dalam waktu dekat. Data inflasi AS yang akan segera dirilis menjadi kunci arah pergerakan pasar. David Sumual, Kepala Ekonom BCA, menilai bahwa meski tekanan eksternal kuat, kondisi domestik Indonesia masih cukup solid.
"Fundamental ekonomi kita masih baik. Namun, kita harus tetap waspada terhadap perkembangan global," katanya.
Dengan kondisi ini, pelaku pasar disarankan untuk tetap berhati-hati sambil memanfaatkan peluang investasi, terutama pada saham-saham berkapitalisasi besar yang saat ini masih undervalued.