Kasus Guru Tampar Siswa di Tasikmalaya: Kronologi dan Fakta Menyedihkan
Ilustrasi Siswa SD dalam Insiden Kekerasan Guru Tampar Siswa di Tasikmalaya
Insiden kekerasan di sekolah kembali menyita perhatian publik. Kali ini, kejadian tersebut melibatkan seorang guru olahraga di SDN Cipakat, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, yang diduga menampar seorang siswa kelas 1 saat jam pelajaran berlangsung pada 29 Oktober 2024.
Peristiwa ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, setelah keluarga korban membawa kasus tersebut ke ranah hukum dan melibatkan KPAID Tasikmalaya. Berikut rangkuman kejadian dan perkembangan kasus ini.
1. Pertengkaran Sepele Berujung Kekerasan
Menurut Lina, ibu dari siswa korban, insiden bermula saat anaknya berselisih dengan teman sekelasnya selama pelajaran olahraga. Sang guru, Eman, yang melihat kejadian itu, langsung menghampiri tanpa menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Anak saya langsung disuruh berdiri dan ditampar di kedua pipinya. Tidak ada tanya jawab atau klarifikasi sama sekali,” ujar Lina, Jumat (8/11/2024).
Ia menyayangkan reaksi spontan tersebut, mengingat konflik antara anak-anak seharusnya bisa diselesaikan dengan cara yang lebih mendidik.
2. Pihak Sekolah Baru Tahu Setelah Dilaporkan
Kepala SDN Cipakat, Aam, mengungkapkan bahwa pihak sekolah tidak mengetahui insiden ini hingga orang tua korban datang untuk meminta penjelasan.
“Kami baru tahu setelah mereka datang. Kami langsung memanggil Pak Eman untuk klarifikasi,” jelas Aam.
Dalam pembicaraan tersebut, Eman mengaku tindakannya merupakan refleks dan menyebut dirinya khilaf.
3. Permintaan Maaf Ditolak, Mediasi Gagal
Setelah kejadian, Eman sempat mengajukan permohonan maaf kepada keluarga korban hingga tiga kali. Namun, permintaan maaf itu tidak cukup untuk meredakan amarah keluarga, yang tetap melanjutkan laporan ke polisi.
\“Kami sudah mencoba memediasi, tapi keluarga korban ingin kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum,” terang Aam.
4. Trauma Membayangi Sang Anak
Kejadian ini membawa dampak serius bagi korban. Lina mengungkapkan bahwa anaknya kini mengalami trauma mendalam dan menolak kembali ke sekolah.
“Sudah hampir dua minggu anak saya tidak mau sekolah. Bahkan saat kami bujuk, dia tetap takut, terutama kalau harus bertemu dengan guru tersebut,” kata Lina.
Kekecewaan keluarga semakin bertambah ketika mengetahui pihak sekolah mempertemukan korban dengan Eman tanpa sepengetahuan mereka. Pertemuan itu bahkan direkam dan videonya beredar, menambah tekanan psikologis pada anak.
“Anak saya gemetar ketakutan saat bertemu guru itu. Ini jelas melukai perasaan kami sebagai orang tua,” imbuh Lina.
5. Proses Hukum Berjalan, Pendampingan KPAID Dimulai
Polres Tasikmalaya kini tengah memproses laporan kekerasan ini. Ketua KPAID Tasikmalaya, Ato Rianto, memastikan pihaknya akan memberikan pendampingan psikologis sekaligus mendukung proses hukum.
“Kami ingin memastikan korban pulih secara mental dan mendapatkan keadilan. Ini juga menjadi pelajaran bagi dunia pendidikan untuk lebih berhati-hati dalam menangani konflik di sekolah,” kata Ato.
Ia menegaskan bahwa penyelesaian kasus ini harus menciptakan efek jera, bukan hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi institusi pendidikan lainnya agar kejadian serupa tidak terulang.