Dunia Islam menyebutnya Ibnu Sina. Namun, di antara orang Barat dikenal sebagai Avicenna. Dia adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan dokter abad kesepuluh. Ia juga dikenal sebagai penulis yang aktif, dan sebagian besar karyanya berhubungan dengan filsafat dan kedokteran.
Bagi banyak orang, Ibnu Sina adalah “Bapak Kedokteran Modern”. Selain itu, masih banyak gelar lain yang dialamatkan kepadanya, terutama yang berkaitan dengan kiprahnya di bidang medis. Karyanya yang paling terkenal adalah Qanun fi Thib, atau The Canon of Medicine, yang telah direferensikan di bidang kedokteran selama berabad-abad.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 M / 980 M di Afsyanah, sebuah kota kecil di tempat yang sekarang disebut Uzbekistan. Ayahnya berasal dari Balkh Khorasan dan merupakan pejabat tinggi di dinasti Samania (204-395 H/819-1005 M). Sejak kecil, Ibnu Sina telah menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Pada usia lima tahun, ia belajar menghafal Al-Qur’an.
Selain menghafal Al-Qur’an, ia juga belajar ilmu agama. Dia belajar ilmu kedokteran ketika dia berusia 16 tahun. Dia tidak hanya mengetahui teori medis, tetapi melalui pelayanannya kepada orang sakit dan perhitungannya sendiri, dia menemukan obat baru.
Karir medisnya dimulai pada usia 17 tahun. Popularitasnya sebagai tabib dimulai ketika ia berhasil menyembuhkan Nuh bin Mansur (976-997), salah satu penguasa dinasti Samaniyah. Banyak tabib dan ahli yang hidup pada saat itu tidak berhasil menyembuhkan penyakit sang raja.
Sebagai imbalan, sang raja meminta Ibnu untuk menetap di istana sementara waktu, setidaknya saat proses pemulihan raja. Namun, ia menolaknya dengan santun dan sebagai gantinya ia meminta izin untuk mengunjungi perpustakaan kerajaan kuno. Di sanalah ilmu dari Bapak Kedokteran Modern ini berkembang pesat.
Ibnu Sina terkenal tidak hanya sebagai ahli dalam agama dan kedokteran, tetapi juga dalam matematika, logika, fisika, geometri, astronomi, metafisika dan filsafat. Di usianya yang ke-18 tahun, Ibnu Sina mendapatkan gelar fisikawan. Tidak hanya itu, ia juga mempelajari mata pelajaran Fiqih dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dia menafsirkan banyak ayat Al-Qur’an untuk mendukung pandangan filosofisnya.
Ketika usianya menginjak umur 22 tahun, sang ayah meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, ia memulai perjalanannya, menyebarkan ilmunya dan mencari ilmu baru. Tempat pertama yang menjadi tujuannya setelah hari duka itu adalah Jurjan, sebuah kota di Timur Tengah. Di sinilah ia bertemu dengan seorang sastrawan dan ulama besar Abu Raihan Al-Biruni. Ia kemudian berguru kepada Al-Biruni.
Tentu saja, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Ibnu Sina disebut sebagai “Bapak Kedokteran Dunia”. Perkembangan komunitas medis awal tidak terlepas dari nama besar Ibnu Sina. Dia juga menyumbangkan banyak karya asli untuk komunitas medis.
Misalnya, dalam Qanun fi Thib ia menulis ensiklopedia yang berisi jutaan artikel tentang kedokteran. Dia juga orang yang memperkenalkan penyembuhan sistematis, yang digunakan sebagai referensi selama tujuh abad.
Ibnu Sina juga menggambar dan menjelaskan anatomi lengkap tubuh manusia untuk pertama kalinya. Dari sini, ia menyimpulkan bahwa semua bagian tubuh manusia terhubung, dari ujung rambut hingga ujung kuku. Dia pertama kali mengatakan bahwa kesehatan fisik dan kesehatan mental saling berhubungan dan saling mendukung. Secara khusus, ia memperkenalkan kepada komunitas medis bagian penting dari kedokteran, ilmu yang sekarang dikenal sebagai patologi dan farmakologi.
Selain Canon of Medicine, buku lain karya Ibnu Sina juga tak kalah kuat. Ash-Syifa, begitulah judul buku karya Ibnu Sina ini. Buku tentang pengobatan dan pengobatan. Buku dalam dunia kedokteran ini menjadi semacam ensiklopedia filsafat dunia kedokteran. Dalam bahasa Latin, buku tersebut dikenal sebagai “Sanatio”.
Ibnu Sina wafat di kota Hamdan, Iran pada tahun 428 H/1037 M. Ia pergi setelah banyak menyumbangkan harta ilmiah umat manusia. Hampir 11 abad setelah Ibnu Sina wafat, ilmu dan prestasinya masih berguna hingga saat ini.